Kepemimpinan Pemimpin Nasional Indonesia [Presiden Sukarno]

by -70 Views

Tersisih kepemimpinan militer: Catatan Pengalaman Bab I Pada sepanjang sejarah Indonesia, beberapa ksatria telah menunjukkan keberanian dan ketangguhan mereka. Para ksatria yang berani melawan penjajah asing daripada tunduk atau tunduk kepada kekuatan asing yang sombong dan congkak. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Beliau adalah seorang intelektual besar, orator, dan pengorganisir. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari Presiden pertama Indonesia, Presiden Sukarno. Pelajaran yang saya pelajari dari beliau bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Bung Karno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Pada tahun 1927, pada usia yang masih muda 26 tahun, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisan-tulisannya yang banyak mempengaruhi semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, beliau dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara, Sukarno menyusun pidatonya yang fenomenal, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato bersejarah yang saya anggap masih sangat relevan hingga hari ini. Pada tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan saat itu, baru membebaskannya saat pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama masa tersebut, beliau aktif dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan Konstitusi 1945, serta meletakkan dasar-dasar pemerintahan Indonesia yang baru. Dalam buku ini, saya ingin memperhatikan sejumlah peristiwa bersejarah yang sangat berdampak pada arah negara dan bangsa kita. Yang pertama adalah keberanian Presiden Sukarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Seperti yang bisa dibayangkan, pada saat itu, negara kita bisa dikatakan tidak memiliki apa-apa. Tapi Presiden Sukarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta dan membacakan pidato berikut: Saudara dan saudari, rekan-rekan sebangsa! Saya mengumpulkan kalian di sini untuk menjadi saksi dari salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kita sebagai bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan selama ratusan tahun! Banyak gerakan kita untuk merebut kemerdekaan telah mengalami kemajuan dan kemunduran, tetapi semangat kita tetap pada tujuan utama. Juga, selama kolonialisme Jepang, upaya kita untuk mencapai kemerdekaan tidak pernah berhenti. Mungkin terlihat bahwa kita bergantung pada Jepang, tetapi pada hakikatnya, kita bergantung pada tekad kita, pada kekuatan kita. Sekarang saatnya tiba untuk benar-benar mengendalikan takdir bangsa kita, tanah air kita. Hanya bangsa yang berani mengontrol nasibnya sendiri yang akan mampu berdiri tegak dan bangga. Jadi [kemarin], kita telah berunding dengan pemimpin-pemimpin Indonesia dari seluruh Indonesia. Kita telah mencapai kata sepakat bahwa sekarang adalah saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Maka dengan tegas kami umumkan: Seorang bisa membayangkan keadaan pikiran Bung Karno saat itu. Beliau dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan ini memicu pemberontakan terhadap Pasukan Sekutu, yang pada saat itu adalah pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata atom. Kita tidak memiliki apa-apa pada saat itu. Senjata yang kita miliki hanyalah sisa-sisa dari arsenal Belanda dan Jepang yang kita berhasil rebut. Peristiwa kedua yang sangat penting bagi pembentukan Indonesia, dan bagi saya, adalah pidato yang dibuat oleh Presiden Sukarno dalam rapat Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Pada saat itu, Presiden Sukarno mendapat tekanan besar untuk menciptakan fondasi ideologis bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Beberapa pihak menekankan pada fondasi ideologis yang berbasis pada agama atau kelompok etnis tertentu. Namun beliau dengan tenang memutuskan, di hadapan rapat, bahwa Indonesia akan berdiri berdasarkan Pancasila. Presiden Sukarno mengatakan: Kita ingin menciptakan negara untuk semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk kaum aristokrat, bukan untuk orang kaya – tetapi untuk semua orang! Republik Indonesia bukanlah milik satu kelompok, juga bukan milik agama tertentu atau kelompok etnis atau budaya tertentu, tetapi ia milik kita semua dari Sabang hingga Merauke. Dalam buku ini, saya juga ingin membahas Bung Karno dari sudut pandang Profesor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro dikenal luas dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik Bung Karno yang selama ini. Pak Soemitro bahkan ikut serta dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Karena saya adalah anak dari Profesor Soemitro, ada yang bisa mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti-Sukarno. Namun, yang menariknya, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa ia menentang Bung Karno karena perbedaan pandangan politik, terutama tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Beliau pernah mengatakan, “Tapi, anak-anakku, kalian harus diingat bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Bung Karno bukan pemimpin besar. Bung Karno adalah salah satu pemimpin yang paling luar biasa yang dimiliki Indonesia. Bung Karno menyatukan ratusan suku, beragam kelompok agama, faksi politik, dan adat untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.” Pak Soemitro pernah memberitahu kami bahwa jika bukan karena Bung Karno, kita mungkin tidak pernah mencapai kemerdekaan Indonesia yang bersatu melainkan malah berakhir dengan puluhan republik yang berbeda. Dan itulah yang diinginkan Belanda: melihat Indonesia terpecah belah menjadi puluhan negara berbeda. Itu juga yang diharapkan oleh negara-negara di sekitar kita. Itu yang pernah dikatakan oleh almarhum ayah saya. Kemudian, Pak Mitro bercerita kepadaku bagaimana, pada awal 1950-an, beliau mencoba meyakinkan Bung Karno untuk tidak bekerja sama dengan PKI. Sampai suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan menegurnya. Bung Karno berkata kepada Pak Mitro, “Hei Mitro, ketika kamu masih memakai celana pendek, aku sudah masuk dan keluar dari penjara. Ingatlah itu. Kamu hanya uruskan ekonomi dan biarkan urusan politik pada diriku. Aku mengerti politik Indonesia lebih baik daripada kamu.” Pak Mitro mengatakan kepadaku bahwa Sukarno benar. Ketika Bung Karno pertama kali dipenjara, Pak Mitro masih berusia 15 tahun. Tapi, menurut Pak Mitro, “Aku tidak punya niat jahat. Aku hanya ingin Bung Karno tidak terjebak. Aku yakin bahwa suatu hari PKI akan mengkhianati Bung Karno.” Dalam hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga bercerita padaku bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai WAPERDAM 1 (Wakil Perdana Menteri Pertama) pada suatu waktu adalah dirinya, bukan Dokter Subandrio. Namun saat ditawari jabatan tersebut, ia sekali lagi mendesak Bung Karno untuk tidak bekerja sama dengan PKI. Bung Karno marah dengan ketegasan Pak Mitro, dan beliau memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya. Ketika Pak Mitro bercerita pada saya kisah tersebut, saya mengatakan kepadanya, “Pak, saya rasa Anda keliru. Anda seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika Anda berada di sampingnya, Anda mungkin bisa mencegah manuver PKI.” Pak Mitro memikirkan apa yang saya katakan untuk waktu yang cukup lama sebelum ia mengakui: “Aku kira kau benar, Bowo. Aku seharusnya tidak pernah meninggalkan Bung Karno.” Beberapa tahun kemudian, saya mendengar dari adik saya yang lebih muda, Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal dunia, ketika beliau sedang sakit di tempat tidurnya, Pak Hashim bertanya kepada Pak Mitro, “Pak, apakah ada sesuatu yang kamu sesali dalam hidupmu? Apa yang paling kamu sesali dalam hidupmu?” Jawaban Pak Mitro adalah, “Ada satu hal yang paling aku sesali: Aku meninggalkan Bung Karno. Aku seharusnya tetap di samping beliau.” Itulah pelajaran yang saya catat. Dan itu adalah norma di kalangan Generasi ’45—mereka memiliki pandangan yang berseberangan, tetapi mereka menghormati satu sama lain. Juga, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan tidak terlalu kaku dalam sikap kita karena, pada suatu saat, sikap kita mungkin menjadi kurang relevan ketika dilihat dari konteks dan era yang berbeda. Ada satu hal lagi yang membuat saya terkesan. Saya ingat ketika Pak Mitro membawa saya ke Istana Merdeka ketika saya berusia lima tahun. Saya melihat Bung Karno berdiri di atas tangga. Beliau tinggi, berpostur tegap, karismatik, dengan senyum lebar di wajahnya. Suaranya dalam, bergemuruh. Saya ingat bahwa beliau mengangkat saya seperti akan melemparkan saya ke udara. Kemudian beliau menurunkan saya kembali. Saya tidak ingat…