Angkatan Udara Amerika Serikat telah merencanakan masa depan pertempuran udara yang revolusioner dengan menggunakan jet tempur F-22 Raptor untuk mengendalikan drone bersenjata melalui sistem Collaborative Combat Aircraft (CCA). Program CCA ini akan mengintegrasikan kecerdasan buatan dan kecerdasan manusia dalam pertempuran udara, membuat F-22 tidak hanya sebagai pemburu tercepat di langit, tetapi juga sebagai ‘komandan udara’ yang memimpin pasukan drone otonom dalam misi tempur.
F-22 Raptor dipilih sebagai pesawat tempur pertama yang akan dikembangkan untuk mengontrol drone CCA, dengan menggunakan tablet sebagai alat kontrol utamanya. Meskipun terdengar futuristik, pengendalian drone melalui tablet menimbulkan kekhawatiran terkait beban kerja tinggi bagi pilot F-22 yang sudah harus menghadapi tekanan dalam menerbangkan jet supersonik.
Lockheed Martin juga terlibat dalam pengembangan sistem pengendalian drone dari dalam kokpit, dengan memperkenalkan antarmuka layar sentuh yang memungkinkan pilot untuk memerintahkan banyak drone secara simultan. USAF bekerja keras untuk mengatasi tantangan teknis dalam integrasi jet tempur dan drone otonom, dengan membentuk Experimental Operations Unit (EOU) dan melakukan berbagai uji coba serta integrasi sistem otonom.
Proyek ini menunjukkan perubahan besar dalam doktrin perang udara, di mana jet tempur akan saling bekerja sama dengan drone otonom yang dikendalikan dari jarak jauh, serta dilengkapi dengan kecerdasan buatan untuk pengambilan keputusan cepat di medan laga. Selain F-22, jet tempur generasi kelima seperti F-35 dan B-21 Raider juga dipersiapkan untuk terintegrasi ke dalam ekosistem drone tempur masa depan.
