Ketahanan Pangan Berkelanjutan Melalui Kearifan Masyarakat Adat

by -41 Views

Sudah menjadi perhatian sejak era Presiden Soekarno hingga Prabowo Subianto, topik mengenai Ketahanan Pangan selalu menjadi sorotan utama. Bahkan, Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa Pangan adalah hal yang menentukan bagi kehidupan sebuah bangsa; jika kebutuhan pangan rakyat tidak terpenuhi, maka akan terjadi malapetaka. Oleh karena itu, diperlukan upaya besar, radikal, dan revolusioner untuk memastikan ketahanan pangan.

Ketahanan pangan ternyata memiliki dimensi yang kompleks. Menurut FAO, Ketahanan Pangan adalah kondisi di mana setiap orang, kapan saja, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai dengan kebutuhan mereka untuk menjalani kehidupan yang sehat dan aktif.

Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mendefinisikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara hingga pada individu, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, bermacam-macam, bergizi, merata, dan terjangkau serta sesuai dengan nilai-nilai agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, agar masyarakat dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa dimensi Ketahanan Pangan meliputi ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas.

Andy Utama, pendiri Arista Montana Organic Farm, mengajukan pertanyaan kritis ketika membahas pangan dalam konteks semangat Trisakti. Apakah kita sudah mempunyai kedaulatan atas pangan? Mampukah kita mandiri dalam hal pangan? Dan apakah kita telah memiliki identitas kuat dalam budaya pangan, termasuk dalam hal penyediaan dan pengolahan pangan?

Mari kita lihat data dari 3 komoditas penting. Konsumsi gandum nasional mencapai 8,6 juta ton, namun tidak ada sebutir gandum pun yang ditanam di Indonesia. Sementara, impor kedelai mencapai 2.162 ton dan beras sebesar 2,9 juta ton untuk tahun 2024. Dari data tersebut, terlihat bahwa Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi pada produsen pangan dari luar negeri. Hal ini membuat Indonesia sulit disebut sebagai negara agraris, dan bahkan tidak bisa dikatakan memiliki kedaulatan pangan atau ketahanan pangan yang cukup.

Pada masa Orde Baru era Presiden Suharto, Indonesia pernah dianggap berhasil mencapai swasembada pangan pada tahun 1984, tetapi hanya terbatas pada komoditas beras. Upaya ini dilakukan melalui intensifikasi pertanian dengan pendekatan Revolusi Hijau yang berfokus pada irigasi teknis, pupuk dan pestisida kimia, serta benih padi hibrida. Namun, dampak dari Revolusi Hijau adalah tingginya ketergantungan petani pada bahan kimia dan hilangnya keberagaman varietas lokal, serta menurunnya kualitas lahan pertanian dan kehilangan nilai budaya pertanian lokal. Dengan kondisi ini, petani padi sulit untuk bergantung sepenuhnya pada pertanian, dan minat kaum muda untuk menjadi petani pun semakin menurun.

Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal

Salah satu alasan mengapa nusantara bisa bertahan selama berabad-abad dan bahkan mampu membangun peradaban unggul adalah karena memiliki ketahanan pangan yang selalu terjaga.

Dalam diskusi dengan komunitas Baduy, Andy Utama menekankan bahwa banyak teknologi ketahanan pangan dari masyarakat adat Indonesia yang patut untuk dipelajari dan diadopsi. Suku Baduy di Jawa Barat misalnya, telah menunjukkan ketahanan pangan selama 100 tahun dengan memanfaatkan lumbung-lumbung penyimpanan padi huma. Mereka merawat 15 varietas padi lokal dengan penuh kecintaan selama berabad-abad, dan mampu menjaga ketahanan pangan tanpa perlu khawatir kelaparan. Masyarakat Baduy memiliki kedaulatan, kemandirian, serta martabat yang tinggi terhadap sistem produksi dan ketahanan pangan, dan mereka juga memperhatikan keseimbangan alam untuk kelestarian.

Desa Tenganan Pegringsingan di Karangasem, Bali juga merupakan contoh lain tentang ketahanan pangan yang dipertahankan sekaligus menjaga kelestarian alam. Meski memiliki luas 917,2 hektar, hanya 8% yang boleh dibangun untuk pemukiman. Sebagian besar lahan disediakan untuk hutan dan sawah, namun mampu memberikan keberlanjutan pangan bagi 685 jiwa penduduknya tanpa pernah mengalami kelaparan. Desa Tenganan telah membuktikan bahwa dengan menjaga kelestarian alam, kita juga dapat mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Di masyarakat adat Indonesia yang lain, masih banyak contoh peradaban yang mendukung ketahanan pangan. Dengan memperhatikan dan merekonstruksi praktek-praktek tersebut, kita dapat menciptakan model kebudayaan ketahanan pangan yang dapat diadopsi di berbagai daerah sesuai dengan kondisi alam dan masyarakat setempat, tanpa harus merusak alam.

Andy Utama mengakhiri diskusi dengan menyatakan bahwa Arista Montana akan membangun lumbung padi di perkebunan organik sesuai dengan tradisi masyarakat Baduy. Penting bagi kita untuk memulai dari hal-hal kecil yang nyata, belajar dengan tulus, dan menghargai kearifan lokal untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Sumber: Ketahanan Pangan, Trisakti, Dan Kearifan Masyarakat Adat
Sumber: Ketahanan Pangan, Trisakti, Dan Kearifan Masyarakat Adat